Belum selesai dengan Covid-19, kini terdapat kabar baru mengenai perkembangan virus corona.
Mutasi virus corona D614G menjadi hal baru yang cukup menjadi momok bagi masyarakat Indonesia.
Walau ditemukan pertama kali di Eropa pada Februari 2020 lalu, kini rupanya mutasi virus corona telah terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia.
Apa itu mutasi virus Corona?
Setelah keberadaan kasus mutasi virus corona di Eropa, Singapura dan Malaysia, disebut-sebut kini virus yang 10 kali lebih menular itu ada di Indonesia.
Dilansir dari detikHealth, menurut laporan dari Prof. Amin Soebandrio selaku Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME), beberapa kota besar seperti DKI Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dan Tangerang menjadi wilayah ditemukannya mutasi virus corona D614G.
Jika sebelumnya kita mengenal virus penyebab Covid-19 yang juga masih tergolong virus corona disebut dengan SARS-CoV-2, kini terdapat mutasi yang disebut dengan D614G.
Menurut lansiran dari Times of India, D614G sendiri hanya salah satu dari sekian banyak hasil mutasi virus SARS-CoV-2.
D614G ini pun hasil mutasi corona yang diketahui ada pada protein pembentuk spike (permukaan corona yang mirip paku) dan dapat masuk ke dalam sel jaringan tubuh penderita infeksi.
Alasan dasar mengapa hasil mutasinya disebut dengan D614G adalah karena asam amino pada posisi 614 mengalami perubahan karena mutasi virus corona, yaitu dari asam aspartat (D) ke glisin (G) maka istilah yang tepat menjadi D614G.
Walau baru beberapa hari terkuak di Indonesia, penyebaran mutasi virus corona D614G ini rupanya sudah ditemukan dan bahkan dikonfirmasi sejak keberadaan SARS-CoV-2 di Indonesia pertama kali.
Hal ini dinyatakan sendiri oleh Tim PNF yang bertugas sebagai penganalisa seluruh jenis virus corona di Indonesia usai mengidentifikasi data sekuens genom virus corona pada GISAID (Global Initiative on Sharing All Influenza Data).
Prof. Chairul Anwar Nidom, selaku ketua tim riset dilansir dari laman Kompas megatakan bahwa sejak awal virus corona merebak di Indonesia, mutasi D614G sudah ada (tepatnya pada bulan Maret 2020).
Maka, kini diperkirakan bahwa D614G sudah jauh lebih banyak karena perkembangannya setelah 5 bulan Covid-19 meresahkan masyarakat Indonesia.
Bagaimana mutasi corona D614G bisa terjadi?
Prof. Chairul Anwar Nidom dan timnya melakukan pengamatan terhadap mutasi virus corona yang disebut D614G dan rupanya mutasi terjadi pada daerah motif ADE (Antibody Dependent Enhancement).
ADE sendiri adalah sistem pertahanan virus saat bertemu dengan antibodi di dalam host.
ADE berfungsi utama sebagai penutup antibodi ketika virus corona mengetahui keberadaan antibodi di dalam tubuh manusia; namun kemudian, antibodi ini malah menjadi peningkat peluang virus masuk ke dalam sel.
Intinya menurut Nidom, virus corona berkolaborasi dengan antibodi untuk bisa memasuki sel tubuh manusia.
Sementara itu, D614G sendiri ada di dalam motif ADE tersebut, namun hal ini juga masih dalam pengamatan dan penelitian lebih lanjut mengenai arah virus saat mutasi terjadi.
Bagaimana mewaspadai D614G?
Paul Tambyah selaku konsultan senior di National University of Singapore sekaligus Presiden International Society of Infectious Diseases dilansir dari laman Reuters mengatakan bahwa mutasi virus corona D614G tidak begitu mematikan.
Hal ini karena D614G ditemukan di sejumlah negara bersamaan dengan adanya penurunan jumlah angka kematian.
Penularan dan penyebarannya memang 10 kali lebih cepat dan mudah, namun tingkat sifat mematikannya tergolong rendah.
Ketika bermutasi, sebagian besar virus rupanya justru tidak terlalu ganas dan berbahaya.
Meski demikian, penularan 10 kali lebih cepat baru hipotesis dari hasil tes laboratorium dan bukti di komunitas belum tersedia.
Walau timbul mutasi virus yang mengkhawatirkan dapat berpengaruh pada vaksin corona, para ahli mengatakan bahwa mutasi ini tidak akan berpengaruh pada vaksin corona yang sedang dikembangkan.
Perlu diketahui bahwa pengembangan vaksin saat ini juga menargetkan protein spike yang bertujuan utama meminimalisir risiko masuknya virus ke dalam sel tubuh.
Para ahli meyakini bahwa satu vaksin saja tetap mampu menangani, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut agar dapat lebih memahami D614G.