Disleksia merupakan salah satu gangguan proses belajar di mana penderitanya dianggap tidak mampu memahami bacaan. Siapapun dapat terkena disleksia dan bahkan seorang anak yang mempunyai IQ yang tinggi. Untuk masalah membaca, mengeja dan menulis, seseorang yang disleksia akan mengalami hambatan pada ketiga kegiatan tersebut.
Para penderita dari kondisi disleksia ini biasanya akan merasa sulit dalam proses pengidentifikasian pengucapan kata-kata yang perlu diubah ke bentuk huruf serta kalimat dan juga sebaliknya. Secara umum, disleksia menyerang anak-anak memang, dan kabar buruknya adalah bahwa disleksia tak ada hubungannya dan tak terpengaruh oleh tingkat kecerdasan dari seorang anak. Untuk itu, perlu kita kenali lebih dalam tentang jenis, penyebab hingga cara mengatasinya supaya lebih waspada.
(Baca juga: cara menyembuhkan mata juling – cara mengatasi depresi pada anak)
Ketidakmampuan dalam membaca pada seorang anak bisa jadi adalah dikarenakan fungsi otak yang terganggu di dalam hal proses transfer urutan-urutan huruf ke dalam sebuah pemaknaan. Perlu diketahui bahwa ada 3 jenis disleksia yang berhubungan erat dengan kelainan otak yang penderita disleksia alami.
Meski memang anak-anaklah yang paling sering terkena disleksia, namun bukan berarti pada setiap kasus disleksia penderitanya hanya anak-anak saja. Ada pula orang dewasa yang mengalami disleksia dan inilah jenis disleksia yang paling kerap dialami orang dewasa. Disleksia traumatis biasanya penyebab utamanya adalah benturan keras.
Hanya saja tak menutup kemungkinan bahwa traumatis juga disebabkan oleh adanya kondisi penyakit tertentu, seperti stroke. Stroke ini bisa mengakibatkan cedera otak dan akhirnay fungsi kebahasaan pun mengalami gangguan. Disleksia traumatis bisa menyebabkan penderitanya kehilangan kemampuan membaca di usia dewasa dan ini terjadi di banyak kasus disleksia jenis ini.
Pada kondisi disleksia primer justru jenis disleksia ini adalah yang paling sering dihubung-hubungkan dengan faktor keturunan sebagai penyebab utamanya. Para penderita disleksia primer biasanya akan menunjukkan adanya gejala disleksia sedari awal dan dini. Gejala ini kemudian berlanjut dan akhirnya menjadi permanen sampai dengan usia mereka menginjak dewasa.
Untuk kasus disleksia primer, laki-laki adalah mayoritas pendeirtanya dan walau begitu, ada sejumlah penelitian yang sudah membuktikan bahwa kromosom X-lah yang membawa disleksia dan kromosom X ini ada pada ibu. Sifat dari disleksia yang dibawa kromosom X ini juga dikenal memiliki sifat resesif dibandingkan jenis disleksia lainnya.
Untuk jenis disleksia satu ini, pada banyak kasus terjadi pada anak-anak yang memiliki cedera di bagian otak alias brain damage ketika usia mereka masih sangat muda. Kerusakan otak ini menjadikan sang anak mengalami gangguan dalam hal membaca dan bahkan sampai ia tumbuh dewasa pun gangguan tersebut masih terus ada.
Pada umumnya, disleksia sekunder tak ada hubungannya dengan memiliki riwayat keluarga yang mempunyai atau menderita disleksia juga. Jenis disleksia ini kerap kali dipicu justru oleh gangguan ketika hamil, gangguan saat persalinan, atau juga benturan yang kiranya terjadi sewaktu sang anak masih dalam usia bayi.
Pada jenis disleksia auditori, biasanya akan menyerang bagian otak yang berperan sebagai penerjemah bunyi dan juga saraf-saraf pendengaran. Inilah yang kemudian menjadi penyebab mengapa penderita jenis disleksia satu ini kemudian tak mampu mengaitkan suatu hurif dengan bunyi yang ia sudah miliki secara cepat.
Ada pula jenis disleksia visual di mana para penderita dari jenis disleksia ini tak ada gangguan atau masalah berarti dalam hal fungsi kebahasaan. Hanya saja, kemampuan mata yang lemah dalam membaca berikut juga kemampuan otak pada proses penerjemahan huruf yang rendah akhirnya membuat si penderita mengalami hambatan ketika harus mencoba memahami tulisan yang ada di hadapannya.
(Baca juga: jenis-jenis penyakit syaraf – kesehatan sistem saraf otak)
Secara pasti memang belum diketahui apa penyebab utama dari disleksia, tapi tetap saja ada berbagai kemungkinan faktor risiko yang bisa Anda kenali agar mampu mengatasi disleksia sesuai dengan penyebabnya.
Dalam hal disleksia, ada yang kasusnya dikarenakan faktor keturunan/genetik di mana genetik ini bisa dikategorikan sebagai pemicu disleksia paling umum dan utama. Ini karena disleksia memang diketahui cenderung berjalan dalam suatu keluarga. Telah ada penelitian yang dihasilkan oleh tim Yale School of Medicine yang menyatakan bahwa gen DCDC2 kerap dihubungkan menjadi pemicu kesulitan membaca pada anak.
Kecacatan pada gen tersebut kemudian muncul untuk melakukan interaksi dengan KIAA0319 di mana gen disleksia ini adalah gen kedua. Sayangnya, hingga sekarang belum ditemukan secara pasti akan penyebab kecacatan pada gen sehingga khirnya bisa menjadi pemicu dari disleksia.
Satu lagi, menurut penelitian Dearbon di tahun 1929, ia menjumpai bahwa sebuah keluarga dengan riwayat buta huruf di dalam keluarga tersebut maka akan cenderung memengaruhi kesehatan keturunannya di mana juga berisiko juga akan buta huruf. Buta huruf yang dimaksud di sini adalah disleksia.
Hal tersebut rupanya secara medis akhirnya terbukti di mana disleksia melalui faktor hereditas dapat diturunkan dari generasi ke generasi. Di tahun 1970, ada pula penelitian oleh Sladen yang menyatakan bahwa disleksia dominan pada pria walau resesif pada wanita. Itulah mengapa disleksia dialami rata-rata oleh para pria atau anak laki-laki.
Susunan otak atau neuroanatomi pun diketahui amat berpengaruh pada sebagian besar penderita disleksia dan kasus yang paling kerap terjadi adalah masalah di bagian otak kiri. Untuk lebih tepatnya, biasanya sering muncul di Wernicke’s area dan Broca’s area karena dua bagian tersebut merupakan bagian otak dengan peran vital dalam hal proses bahasa.
Ketidakseimbangan dalam ukuran otak dan bentuk otak bisa juga menjadi faktor yang menyebabkan disleksia. Jika seseorang memiliki otak kanan dengan ukuran lebih besar maka biasanya ini meningkatkan risiko dari disleksia. Untuk masalah neuroanatomi ini, dapat terjadi sejak bayi masih ada di dalam kandungan maupun sesudah dewasa yang terjadi akibat benturan.
Disleksia justru paling sering disebabkan oleh cedera otak dan tak selalu disleksia terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Sejumlah kasus malah ditemukan terjadi sesudah anak lahir dan bukan karena faktor keturunan. Kecelakaan, trauma, maupun bahaya stroke dapat mencederai otak yang berujung pada disleksia.
Faktor penyebab disleksia juga dapat berupa gangguan pendengaran dan visual di mana pada sejumlah kasus, penderita disleksia akhirnya terhambat dalam memaca dikarenakan fungsi visualnya yang bermasalah. Contoh gangguan visual dalam hal ini adalah mata bergerak tak fokus, masalah pada saraf penghubung mata dan otak, masalah pada bagian retina mata.
Karena hal-hal tersebut, akhirnya tulisan yang dilihat oleh penderita pun menjadi tak bisa diterjemahkan secara benar oleh otak. Pada penderita yang memiliki hambatan dalam membaca dan menulis biasanya memiliki masalah seperti ini. Ada pula yang disebabkan oleh gangguan pendengaran sehingga setiap huruf yang penderita tangkap dan diterjemahkan bunyinya bisa tak sama yang akhirnya menyebabkan penderita kesulitan mengeja.
Satu lagi adalah faktor lingkungan di mana faktor ini merupakan penyebab di luar hereditas maupun gangguan pada diri si penderita. Faktor lingkungan seperti bagaimana orang tua mengajarkan bahasa atau mengajak anak berkomunikasi serta proses pengajaran bahasa di luar rumah seperti di sekolah bisa saja membuat anak sulit dan menjadikannya terhambat dalam hal membaca.
(Baca juga: jenis penyakit yang menyerang otak – gejala infeksi otak)
Disleksia merupakan kondisi kesehatan dengan variasi gejala dan antara satu penderita dengan penderita yang lain rata-rata akan mengalami gejala yang berbeda. Itulah yang menjadi alasan mengapa gangguan seperti ini akan sulit dikenali, apalagi kalau sang anak juga belum masuk usia sekolah akan lebih sulit lagi.
Gejala pada Balita
Pada anak balita, ada sejumlah kondisi gejala yang kiranya bisa dikenali:
Gejala Anak pada Usia Sekolah
Kalau pada balita tak begitu jelas gejalanya, maka seiring bertambahnya usia si kecil dan terutama bagi yang masuk usia sekolah akan lebih kelihatan karena mereka mulai belajar membaca dan menulis. Ada beberapa kesulitan yang biasanya dihadapi seorang anak dengan disleksia:
Gejala pada Anak Remaja atau Dewasa
Sulitnya pendeteksian gejala disleksia ketika masih usia anak-anak, hal ini menjadikan gejala disleksia juga kerap disadari sesudah penderitanya masuk usia remaja bahkan juga ada yang telah masuk usia orang dewasa. Gejala yang dimaksud kerap dijumpai pada remaja dan dewasa antara lain adalah:
Pada tahap balita, anak usia sekolah, remaja atau dewasa, ketika gejala sudah mulai terlihat maka ada baiknya segera didiagnosa agar jelas dan berikut adalah metode diagnosa yang akan membantu dalam pendeteksian penyebab gejala.
(Baca juga: penyebab otak mengecil – jenis kelainan saraf)
Setelah diketahui gejala pasti berikut juga kesimpulan penyebab dari keluhan gejala yang dialami pasien, maka barulah sang dokter berani memberikan penanganan. Memang benar bahwa belum ditemukan penyembuhan terbaik dan total untuk disleksia, tapi menangani secara dini sudah dibuktikan teramat efektif sehingga penderita pun mengalami peningkatan kemampuan, terutama hal membaca.
(Baca juga: pengaruh alkohol terhadap sistem saraf manusia – makanan dan minuman yang berbahaya untuk otak)
Itulah ulasan mengenai disleksia mulai dari jenis, penyebab, gejala, diagnosa dan cara menanganinya. Untuk menyembuhkan dan membantu penderita disleksia untuk maju, dibutuhkan tenaga dan waktu ekstra serta dukungan maksimal dari anggota keluarga.