Di era sekarang, masih banyak anggapan masyarakat yang kurang tepat tentang para dokter, baik dokter umum maupun spesialis. Terlebih pandangan orang awam terhadap anestesiologi atau ilmu anestesi. Beberapa menyebutkan bahwa ilmu anestesi identik dengan kegiatan praktek di dalam kamar operasi dengan memberikan obat yang akan membuat pasien tidak sadar lalu dokter bedah dapat melakukan tugasnya yaitu melakukan pembedahan. Padahal keadaan tersebut merupakan gambaran anestesiologi pada awal sejarah pertumbuhannya.
Pengertian Anestesiologi
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang cara mengurangi rasa nyeri dan menjaga stabilitas pasien selama dan setelah prosedur bedah. Para ahli anestesiologi harus menyelesaikan pendidikan sarjana persiapan kedokteran (pre-med), kemudian dilanjutkan dengan pendidikan kedokteran dan pelatihan di bidang anestesiologi selama empat tahun. Posisi ahli anestesiologi sekarang lebih fleksibel dan dapat bekerja pada berbagai sektor. Karena selain dapat bekerja di rumah sakit atau klinik, ahli anestesiologi dapat bekerja pada klinik penanganan nyeri, pusat bedah rawat jalan, klinik dokter gigi, klinik bersalin, serta klinik perawatan intensif.
Anestesi (bukan anastesi) itu sendiri adalah suatu keadaan hilangnya sensasi perasaan, raba, postur dan nyeri yang biasanya dihubungkan dengan hilangnya kesadaran. Kata anestesi oleh orang awam dikenal dengan nama obat bius. Jika diperlukan tindakan pembedahan dalam penanganan pasien, maka anestesi ini memiliki peran utama untuk kenyamanan pasien. Anestesi digunakan pada hampir semua bidang kedokteran, misalnya dalam prosedur diagnostik, bedah organ tangan, kaki, perut, kandungan, dan lain sebagainya.
Anestesiologi tidak berorientasi pada organ atau umur, tetapi pada fungsi. Dengan demikian maka hubungannya dengan cabang-cabang ilmu kedokteran yang lain cukup banyak, bahkan seringkali merupakan titik temu persilangan cabang ilmu medik dan bedah. Ruang lingkup anestesiologi kini sudah jauh lebih luas. Anestesiologi tidak lagi dibatasi oleh pelayanan di ruang pembedahan, tetapi telah meluas ke ruang pulih sadar dan perawatan intensif.
Sejarah dan Perkembangan Anestesiologi
Sejak zaman dahulu, manusia telah mencari cara untuk menghilangkan rasa sakit / nyeri, tetapi selalu tidak mencapai hasil memuaskan. Pada dokumen tertua yang ditulis oleh dr Borgogni, pada abad ke-13 ada ramuan bernama Ypnoticon yang tediri dari campuran opium mandragora. Kemudian pada abad ke-17 dan ke-18 mulai berkembanglah pemakaian Morfin, Scopolamin dan alkohol untuk memabukkan pasien lalu baru melakukan pembedahan terhadapnya.
Penggunaan Ether untuk pertama kalinya dilakukan oleh dokter gigi Morton di ruang Massachusetts General Hospital di Boston pada 16 Oktober 1846 lalu. Sampai sekarang tempat tersebut masih diabadikan dan disebut sebagai “Ether Dome“. Dokter gigi yang selalu berhubungan dengan cara mengurangi nyeri untuk para pasiennya, membuat anestesi lebih dulu dipelajari dan dipahami oleh dokter gigi. Selain Morton, ada dokter Horace Wells yang mempergunakan N2O guna menghilangkan rasa nyeri pada seorang yang patah tulang.
(Baca juga: 20 Jenis-jenis Narkoba, Gambar, Efek, Dampak dan Pengertiannya – Efek, Dampak, Bahaya Morfin bagi Penggunanya)
Sedangkan perintis anestesi di Indonesia adalah Prof Dr. Mochamad Kelan yang memperdalam ilmu anestesi di Amerika Serikat selama 3 tahun. Ia kembali ke Indonesia pada tahun 1954 lalu bertugas sebagai ahli anestesi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Selanjutnya pada tahun 1953, ada Prof. Macintosch yang datang membawa EMO, sehingga penggunaan Ether lebih terarah. Pada tahun 1964, kemudian bagian anestesi RSCM bekerjasama dengan Universitas Indonesia (UI) didirikan secara resmi.
Selain perkembangan dalam teknik pemberian anestesi, alat anestesi juga turut berkembang. Pada awal tahun 1846 – 1850, anestesi dilakukan hanya dengan menggunakan sapu tangan yang ditetesi Chloroform atau menggunakan Ether lalu ditutupkan pada hidung pasien. Dengan terhirupnya zat tersebut, pasien jadi tak sadarkan diri. Kini menjelang abad ke-21, beragam obat anestesi dan teknik pemberiannya sudah berkembang pesat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam era komputerisasi.
Landasan Ilmu dan Ketrampilan Anestesiologi
Karena harus bekerja dalam suatu tim, ahli anestesiologi harus mempunyai ilmu, ketrampilan dan perilaku yang baik. Ilmu anestesiologi berlandaskan kepada ilmu kedokteran dasar seperti farmakologi, anatomi, fisiologi dan dasar-dasar ilmu fisika. Di dalam prakteknya, seorang ahli anestesiologi juga harus mempelajari ilmu tertentu seperti penyakit dalam, kebidanan, anak, neurologi dan lain lain karena berhubungan dengan pengelolaan kondisi penderita, baik di dalam atau di luar kamar bedah pada sebelum, saat dan setelah pembedahan.
Karena tindakan anestesi adalah tindakan ilmu kedokteran dan bukan tindakan perawatan, maka tindakan anestesi hanya boleh dilakukan oleh seorang ahli anestesiologi yang merupakan seorang dokter dan sebaiknya Dokter Spesialis Anestesiologi (DSAn). Namun bila dalam kondisi terdesak, tindakan ini boleh dilakukan oleh perawat anestesi maka ini adalah atas instruksi dan tanggung jawab dokter bedah. Di dalam kamar bedah, dokter anestesi adalah partner dokter bedah. Jadi masing-masing anggota tim mempunyai tugas dan tanggung jawab tersendiri.
(Baca juga: Perbedaan Dokter Gigi dan Bedah Mulut – dr Ryan Thamrin Meninggal – Gelar Dokter Spesialis dan Sub Spesialis di Indonesia)
Dalam melakukan pengelolaan anestesi pada suatu pembedahan, tidak boleh sampai melupakan “Sepuluh Prinsip Dasar“ dalam anestesi, yakni:
Pokok-Pokok Etika dalam Pelayanan Anestesi
Dari masa ke masa, pola pikir manusia terus berkembang seiring zaman. Maka tak heran terjadi pula kemajuan kemajuan ilmu dan teknologi dalam bidang anestesiologi. Tujuannya agar bisa meningkatkan taraf dan kualitas hidup manusia itu sendiri. Karena adanya peningkatan kualitas profesi anestesiologi, maka timbul pula mahalnya pelayanan anestesiologi seiring perubahan tata nilai dalam masyarakat.
Masyarakat sekarang semakin kritis memandang masalah yang ada, termasuk dalam pelayanan di bidang anestesiologi. Tuntutan agar ahli anestesiologi dan instansi rumah sakit wajib memberikan pelayanan anestesiologi yang lebih baik menjadi bertambah. Itulah mengapa kemudian muncul materi etika yang berisi kewajiban dan hak profesi. Dengan demikian, tetap ada standar aturan yang berlaku dan tidak akan merugikan salah satu pihak.
Etika pelayanan anestesiologi mengacu pada Kode Etika Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang mencakup:
Selain yang membahas tentang etika, ada juga beberpa perbuatan yang dipandang bertentangan dengan etika. Antara lain:
Macam Metode dalam Anestesi
Metode anestesi yang paling sering digunakan adalah umum dan lokal.
Bentuk Pemberian dalam Anestesi
Anestesi dapat berupa:
Kedua zat bius ini mempunyai efek langsung yang dapat membuat pasien hilang kesadaran dalam satu menit, bahkan bisa dalam hitungan detik.
(Baca juga: Penyebab Pingsan – Cara Menangani Orang Pingsan – Pertolongan Pertama pada Orang Pingsan)
Efek Samping Pemberian Anestesi
Sebelum pemberian anestesi, ahli anestesiologi harus menjelaskan berbagai efek samping yang mungkin timbul akibat pembiusan, seperti:
Pada umumnya resiko / efek samping pemberian anestesi dapat bersumber pada berbagai faktor, antara lain :
Komplikasi yang Mungkin Timbul dalam Pemberian Anestesi
Ada beberapa komplikasi yang mungkin timbul sebagai akibat dari pemberian anstesi. Komplikasi ini dapat juga disebut sebagai reaksi bawaan. Yaitu:
Komplikasi bisa menjadi lebih serius apabila ditambah dengan kondisi berikut ini:
(Baca juga: Kalkulator Berat Badan Ideal – Penyebab Obesitas – Gejala Obesitas)
Oleh sebab itu, sebelum dijadwal untuk dilakukan tindak pembedahan, ada baiknya pasien memperhatikan hal-hal yang bisa memicu terjadinya komplikasi. Pasien diberi arahan agar juga terhindar dari interaksi yang disebabkan oleh zat anestetik.
Pasien disarankan agar menghindari minuman beralkohol dan berhenti merokok selama beberapa minggu sebelum bedah dilaksanakan agar tidak memicu komplikasi. Bila dirasa perlu maka dokter pun akan meminta pasien menurunkan berat badannya sehingga tidak timbul reaksi anestesi yang tidak dikehendaki.