Sebuah rangkaian penelitian dari Irlandia bagian Utara yang baru – baru ini dipublikasikan menyatakan bahwa narsisisme pada tingkat tertentu mungkin saja baik untuk Anda – dalam beberapa hal tentunya.
Kostas Papageorgiu, asisten profesor Psikologi dari Universitas Queen di Belfast menyatakan bahwa individu dengan narsisisme “grandiose” – diartikan dalam kamus sebagai “sangat angkuh atau pretensius” berpotensi memiliki mental yang tangguh, suatu bentuk daya tahan yang mungkin saja dapat melindungi diri sendiri.
Kostas Papageorgiu menambahkan mental tangguh yang dimiliki oleh para individu narsisisme diraih dengan cara menaklukkan tantangan yang dihadapi saat mereka berusaha untuk “mendapatkan akses pada sumber – sumber yang mereka pikir berhak mereka dapatkan.”
“Penelitian kami menunjukkan bahwa, setidaknya beberapa aspek dari narsisisme, akan membantu para individu memiliki daya tahan melawan beberapa jenis psikopatologi, sebut saja, gejala – gejala depresi dan stres,” kata Papageorgiu.
“Saya percaya kesimpulan – kesimpulan ini sebaiknya dipahami dengan hati – hati,” ujar Ramani Durvasula, psikolog klinik berlisensi, yang kerap kali menangani pasien dengan gangguan kepribadian narsis dan telah menulis dua buku mengenai topik tersebut.
“Mungkin saja individu dengan narsis “grandiose” akan sangat membantu mereka untuk melindungi dirinya sendiri dari stres dan kondisi mood yang negatif. Namun harus diingat korban sesungguhnya dari narsisisme adalah mereka memperlakukan orang lain dengan buruk.”
Gangguan Kepribadian Narsis
Dikutip dari CNN, pada dasarnya kita semua narsis hingga titik tertentu – hal ini didasarkan pada tes yang dilakukan dengan Narcissistic Personality Inventory, yang memberikan skor dengan skala 0 – 40, yang menemukan fakta kebanyakan orang berada di skor pertengahan. Meski begitu, meskipun seseorang mendapatkan skor yang tinggi tidak berarti seseorang tersebut sangat narsis.
Gangguan kepribadian narsis yang sesungguhnya (NPD) dialami oleh 1 % populasi. Hal ini merupakan kondisi mental yang dicirikan dengan keinginan berlebih yang selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Individu yang didiagnosa narsis sering kali merasa dirinya berhak, berharap untuk diakui superior meskipun tidak seperti itu adanya, butuh dikagumi berlebihan dan terus – menerus dan mementingkan diri sendiri. Mereka akan stres dan depresi jika tidak diperlakukan layaknya seperti yang mereka harapkan.
Individu yang narsis melebih-lebihkan pencapaian dan bakat yang mereka miliki serta menjadi tidak sabaran atau marah – marah pada orang lain karena sulit mengendalikan sikap dan emosi mereka.
Para ahli menyatakan bahwa elemen kunci dari narsisisme adalah kurangnya rasa empati – yakni ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk mengakui kebutuhan dan perasan orang lain.
Narsisisme yang ‘Normal’
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa narsisisme meningkat perkembangannya pada kaum muda. Sebuah studi di tahun 2008 menemukan bahwa para mahasiswa di tahun 2006 30 % lebih narsis dibandingkan para mahasiswa di tahun 1982. Untuk lebih jelasnya, kita tidak sedang membahas tentang narsisisme yang didiagnosa secara klinis; namun tipe narsisisme yang para ahli sebut dengan “subclinical” atau narsisisme “normal”.
Penelitian yang saling bertentangan dalam hal ini. Namun, belum terlalu lama sejak tajuk berita membahas tentang selfie-taking, yakni aktivitas self-promoting media sosial para milenial dan menyebut para milenial sebagai generasi “Me”.
“Sangat menggoda untuk mengkambinghitamkan generasi milenial, namun ada sesuatu yang berisiko dan tidak sehat tentang hal tersebut,” ujar Durvasula.
“Sehingga, daripada melabeli hal ini sebagai narsis, saya memilih melabeli hal tersebut sebagai fase perkembangan saat orang – orang menjadi individualis dan mereka menyadari kekuatannya di dunia ini.”
Menurut beberapa penelian para milenial sepakat bahwa mereka memang lebih narsis dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka hanya tidak setuju dengan makna yang ada mengenai hal tersebut. Mereka menganggap perilaku tersebut merupakan tanda “individualism” yang mereka junjung tinggi.
Papageorgiu melihat adanya ironi dalam hal ini. Ia menunjuk pada kontradiksi di budaya barat yang mana menurutnya sangat menghargai pencapaian individual namun melabeli orang – orang yang mempromosikan diri sendiri sebagai “socially toxic”.
“Orang – orang berusaha untuk beradaptasi, bertahan dan sukses dalam lingkungan sosial politik dan ekonomi dan menjadi “self-made man or woman”, dan saat mereka menunjukkan sifat antagonis seperti narsisisme mereka akan dipandang negatif.”
Menurut Kostas Papageorgiu sebaiknya berhenti melabeli karakter yang tersebut diatas dengan “beneficial or malevolent” dan mulailah menggunakan karakter tersebut diwaktu yang pantas.
Papageorgiu menambahkan bahwa seseorang mungkin saja menjadi narsis ketika dihadapkan pada tantangan dan berubah lebih baik ketika mereka merasa berada di lingkungan yang aman.
Di lain pihak Durvasula menganggap pandangan Papageorgiu sedikit melenceng. Ia mengambil contoh saat Darwin menjelaskan jika depresi dianggap protektif dan fokus pada diri sendiri dapat membantu seseorang sembuh dari depresi, menurut Durvasula sendiri malah tidak ada hal positif dari depresi begitu juga anggapannya tentang narsisisme “grandiose”.
Durvasula membeberkan fakta bahwa penelitian dari Irlandia tersebut dilakukan pada para mahasiswa dan individu berusia 18 hingga 32 tahun yang direkrut melalui Facebook, dimana kelompok individu ini merupakan grup dengan tipikal skor tinggi dalam hal narsisisme “grandiose”.
Kelompok usia ini menurutnya memendam karakter arogan yang umum pada usia muda. Namun tidak berarti hal tersebut dapat dianggap sebagai narsisisme. Durvasula mempermasalahkan istilah narsisisme yang melabeli orang – orang yang berkarakter tegas, mampu membela diri sendiri, dan healthy self esteem.