Glomerulonefritis ialah inflamasi pada glomerulus. Glomerulus merupakan bagian dari nefron, yaitu unit struktural dan fungsional dari ginjal.
Sebuah nefron tersusun atas korpuskula renal (glomerulus yang diselubungi kapsul Bowman) dan tubulus renal. Setiap ginjal pada orang dewasa mengandung sekitar 1 juta nefron.
Gromelurus tersusun atas pembuluh darah kecil yang membentuk simpul pembuluh. Struktur ini berfungsi sebagai filter (penyaring) darah. Glomerulus menghilangkan sisa metabolisme, elektrolit dan cairan yang berlebihan dari darah dan meneruskan ke dalam urin.
Setiap glomerulus menempel pada suatu tubulus. Darah yang disaring dari glomerulus kembali ke aliran darah, sementara urin yang mengandung sisa metabolisme dan elektrolit berlebih dari darah disalurkan ke tubulus untuk diekskresikan.
Jika glomerulus mengalami kerusakan, ginjal tidak dapat membuang sisa metabolisme dan cairan berlebih secara efisien. Akibatnya sisa metabolisme menumpuk di dalam aliran darah. Selain itu darah dan protein dapat ikut diekskresikan ke dalam urin.
Kondisi tersebut lama-kelamaan mengarah pada kerusakan ginjal dan menyebabkan kekurangan protein di dalam darah.
Glomerulonefriitis merupakan penyebab utama gangguan ginjal. Di Amerika Serikat, glomerulonefritis mengarah pada 10-15% penyakit ginjal tahap akhir.
Glomerulonefritis lebih banyak mempengaruhi wanita daripada pria dengan perbandingan 2:1.
Glomerulonefritis dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Terkadang penyakit ini menurun dalam keluarga dan kadang penyebab penyakit tidak diketahui.
Faktor genetik dapat berperan dalam timbulnya penyakit, namun umumnya glomerulonefritis tidak menurun dalam keluarga.
Penggunaan obat tertentu dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko glomerulonefritis, seperti NSAID (non-steroidal inflammatory drug) seperti ibuprofen atau aspirin.
Glomerulonefritis pasca infeksi dapat terjadi pada semua usia, tapi biasanya terjadi pada anak-anak. Sebagian besar kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun, hanya 10% yang terjadi pada pasien berusia lebih dari 40 tahun.
Berdasarkan onset gejalanya, glomerulonefritis dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
Glomerulonefritis akut terjadi secara tiba-tiba. Gomerulonefritis akut didefinisikan sebagai onset tiba-tiba dari hematuria, proteinuria, dan adanya sel darah merah di dalam urin. Kondisi ini sering disertai hipertensi, edema, azotemia, dan retensi air dan garam ginjal.
Berikut beberapa gejala lain yang dapat dialami pada glomerulonefritis akut:
Glomerulonefritis akut dapat terjadi akibat infeksi seperti radang tenggorokan. Kondisi ini dapat membaik dengan sendirinya, tapi jika tidak membaik pasien perlu mendapatkan penanganan yang tepat untuk mencegah kerusakan jangka panjang pada ginjal.
Penyakit tertentu juga dapat menjadi penyebab glomerulonefritis akut, seperti penyakit sistemik, penyakit pada ginjal, sindrom Guillain-Bare, iradiasi dari tumor Wilms. Penggunaan NSAID berlebihan juga dapat menjadi faktor risiko.
Glomerulonefritis kronis dapat berkembang selama bertahun-tahun tanpa menunjukkan gejala atau dengan gejala yang sangat sedikit. Kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan ireversibel pada ginjal dan mengarah pada gagal ginjal total.
Glomerulonefritis kronis tidak selalu memiliki penyebab yang jelas. Kelainan genetik dapat menjadi penyebab glomerulonefritis kronis. Nefritis turunan terjadi pada pria muda dengan gangguan penglihatan dan pendengaran.
Kondisi ini juga dapat disebabkan oleh adanya penyakit imun tertentu, riwayat kanker, dan paparan terhadap pelarut hidrokarbon. Pasien dengan glomerulonefritis akut juga berisiko lebih tinggi mengalami glomerulonefritis kronis.
Studi menunjukkan kasus sporadik glomerulonefritis akut berprogres menjadi glomerulonefritis kronis pada sekitar 30% pasien dewasa dan 10% pasien anak-anak.
Berikut beberapa gejala yang dapat dialami pada pasien glomerulonefritis kronis:
Glomerulonefritis dapat mengakibatkan kerusakan sehingga ginjal kehilangan kemampuannya untuk menyaring darah. Sehingga dapat menyebabkan kadar cairan tubuh terlalu tinggi, serta penumpukan elektrollit dan sisa metabolisme.
Berikut beberapa komplikasi potensial dari glomerulonefritis:
Glomerulonefritis dapat tidak menimbulkan gejala sehingga sering kali ditemukan saat pasien melakukan tes untuk alasan lain, seperti pemeriksaan rutin tekanan darah tinggi. Diagnosis glomerulonefritis juga dapat sulit dilakukan karena penyebab kondisi sering tidak diketahui.
Untuk mengkonfirmasi diagnosis glomerulonefritis dapat dilakukan beberapa tes berikut:
Pengobatan bergantung pada jenis kondisi (akut atau kronis), penyebab kondisi, dan tingkat keparahan gejala.
Glomerulonefritis yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus biasanya membaik tanpa penanganan, tapi dokter dapat meresepkan antibiotik untuk membunuh patogen penyebab penyakit.
Salah satu penanganan yang dilakukan ialah mengendalikan tekanan darah tinggi, terutama jika tekanan darah tinggi merupakan penyebab glomerulonefritis. Dokter dapat meresepkan beberapa obat untuk membantu mengendalikan tekanan darah, meliputi:
Diuretik dapat membantu menurunkan tekanan darah dan memperlambat penurunan fungsi ginjal. Untuk mengontrol inflamasi dapat diberikan kortikosteroid dan obat penekan sistem imun.
Metode lain untuk mengurangi inflamasi yang dipicu oleh sistem imun ialah dengan plasmapheresis. Proses ini menghilangkan bagian cairan dari darah yang disebut plasma dan menggantikannya dengan cairan intravena atau plasma dari donor yang tidak mengandung antibodi.
Pada kasus glomerulonefritis kronis, pasien perlu mengurangi konsumsi protein, garam, dan kalium. Pasien juga perlu memperhatikan jumlah air minum yang dikonsumsi.
Pada kasus berat, pasien dapat memerlukan dialisis. Dialisis menggunakan mesin untuk menggantikan tugas ginjal untuk menyaring darah dan menghilangkan sisa metabolisme. Pada pasien yang cukup sehat, dapat diperlukan transplantasi ginjal.
Jika mendapat diagnosa dengan cepat, glomerulonefritis akut dapat bersifat sementara dan reversibel. Sementara glomerulonefritis kronus dapat diperlambat dengan perawatan sejak dini.
Sebagian besar kasus glomerulonefritis tidak dapat dicegah. Meski demikian, terdapat beberapa cara untuk mengurangi risiko: