Penyakit dan Kelainan

Berpikir Mati Otak, Pria 48 Tahun Ini Rupanya Alami Cotard’s Syndrome

√ Scientific Base Pass quality & scientific checked by advisor, read our quality control guidelance for more info

Seorang pria berusia 48 tahun bernama Graham diketahui awalnya mengalami depresi serius. Usai depresi parah yang membuatnya sempat ingin mengakhiri hidup dengan menyetrum diri sendiri, ia berpikir bahwa ia tengah mengalami mati otak. Ia merasakan ada suatu hal yang janggal pada dirinya, yakni otaknya tidak lagi hidup walau bagian tubuh lain tetap bekerja dengan normal.

Graham mengaku merasa bahwa ia tetap bisa berinteraksi dengan orang lain secara normal. Ia bahkan tetap mampu mengingat dan berpikir, hanya saja bagian otaknya seperti ada yang berbeda. Hingga akhirnya, ia positif didiagnosa dengan kondisi kejiwaan langka yang disebut dengan Cotard’s syndrome.

Cotard’s syndrome sendiri melansir dari Fox News merupakan sebuah keadaan di mana penderitanya memberikan penolakan terhadap keberadaan tubuh serta bagian tubuhnya sendiri. Beberapa orang dengan  sindrom ini mengalami kelaparan dan pada akhirnya berujung pada malnutrisi sebab bagi mereka berpikir bahwa makan, tidur maupun melakukan aktivitas lainnya tak lagi ada untungnya.

Sementara itu, pada kasus Graham sendiri ia merasakan ketenangan terlebih ketika ia sedang ada di dekat pemakaman di mana menurutnya, ini adalah hal paling dekat dengan kematian yang bisa ia lakukan. Polisi pernah sampai harus menjemputnya lalu mengantarkan kembali ke rumah karena berada di pemakaman sangat lama.

Penyebab dan Gejala

Penyebab utama dari Cotard’s syndrome sendiri belumlah diketahui pasti karena para peneliti pun belum yakin. Hanya saja, sejumlah faktor peningkat risiko tetap ada, yakni antara lain:

  • Faktor usia; paling umum sindrom ini diidap oleh orang-orang berusia 50 tahun ke atas. Meski begitu, tak menutup kemungkinan anak-anak dan remaja mengalaminya juga.
  • Faktor jenis kelamin; wanita lebih berisiko mengembangkan Cotard’s syndrome. Tentu saja hal ini bukan berarti pria tak bisa mengalaminya.
  • Kondisi kesehatan mental lainnya; depresi pasca bersalin, gangguan bipolar, skizofrenia, depresi psikotik, gangguan disosiati, gangguan depersonalisasi, dan katatonia mampu meningkatkan risiko Cotard’s syndrome.
  • Kondisi neurologis tertentu; cedera otak traumatis, terkena pukulan di kepala, penyakit Parkinson, multiple sclerosis, migrain, epilepsi, demensia, tumor otak, dan infeksi otak adalah kondisi-kondisi yang juga mampu memperbesar potensi terkena Cotard’s syndrome.

Nihilisme adalah salah satu gejala utama pada kondisi Cotard’s syndrome, seperti yang sudah disebutkan, penderitanya akan merasakan keyakinan kuat ada bagian tubuhnya yang tak ada. Beberapa penderita merasa bahwa bagian tubuh mereka telah mati dan membusuk, namun ada pula yang memang merasa bahwa bagian tubuh itu tak pernah ada.

Beberapa gejala lain yang umumnya dijumpai pada seorang penderita Cotard’s syndrome adalah:

  • Merasa bersalah
  • Selalu murung
  • Halusinasi
  • Depresi
  • Kegelisahan/kecemasan berlebih
  • Kecenderungan melukai diri sendiri atau ingin mengakhiri hidup

Diagnosa dan Pengobatan

Proses pemeriksaan dan pendeteksian Cotard’s syndrome cukup sulit dan diharapkan kepada orang-orang yang memiliki Cotard’s syndrome untuk membuat jurnal mengenai perkembangan gejala yang dirasakan, termasuk kapan dan berapa lama gejala tersebut dialami. Karena umumnya sindrom ini muncul bersama dengan kondisi gangguan mental lainnya, ada kemungkinan hasil diagnosa oleh dokter lebih dari satu kondisi.

Terapi elektrokonvulsif atau ECT merupakan metode pengobatan yang paling umum penerapannya, khususnya bagi penderita depresi berat. Walau tergolong umum, terapi jenis ini mampu meningkatkan sejumlah risiko potensial yang berbahaya, semacam nyeri pada otot, mual-mual, kebingungan, hingga hilang ingatan.

Apabila terapi seperti ECT kurang begitu efektif, beberapa langkah pengobatan lainnya patut dipertimbangkan seperti:

  • Terapi perilaku kognitif
  • Psikoterapi
  • Obat antipsikotik dan antidepresan

Pada kasus Graham, ia kemudian memperoleh bantuan medis tepat setelah menempuh PET scan yang membuktikan angka persentase lebih rendah pada aktivitas metabolik ketimbang otak orang yang normal. Dengan kondisi otak rendah, dokter yang menanganinya pun terheran karena ia masih mampu berbicara dan berjalan seperti normalnya.

Kasus Graham pun masuk pada jurnal CORTEX di mana penulis studi CORTEX kemudian membuat kesimpulan bahwa akar dari gangguan pikiran yang besar adalah kerusakan serius di bagian otak. Hal ini kemudian membuat inti kesadaran diri sendiri dan kejadian di sekelilingnya menjadi terpengaruh; namun, beruntung Graham yang ditolong dengan pengobatan kejiwaan kini sudah bisa kembali hidup normal.